Minggu, 21 April 2019

Analisis Data Kemiskinan yang terdapat di Papua

Hallo teman-teman, pada tulisan kali ini, saya akan membahas tentang Perkembangan Kemiskinan yang terjadi di masyarakat Papua, Perubahan Garis Kemiskinan yang terjadi dan Mengukur Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan.
Sebelum kita membahas mengenai data statistik kemiskinan yang terjadi di Papua, kita harus mengerti terlebih dahulu definisi, klasifikasi, dan faktor penyebab terjadinya kemiskinan.
Pengertian Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan yang layak.
KLASIFIKASI KEMISKINAN :
Menurut Max-Neef et. al, sekurangnya ada 6 (enam) macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu :
1.                 Kemiskinan subsistensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.
2.                 Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.
3.                 Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
4.                 Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
5.                 Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi.
6.                 Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.

PENYEBAB KEMISKINAN 

Beberapa faktor penyebab yang sangat mendasar terhadap terjadinya kemiskinan antara lain adalah :
1.                 Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal.
2.                 Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana.
3.                 Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
4.                 Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
5.                 Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
6.                 Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
7.                 Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya.
8.                 Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance).
9.                 Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan (over exploited).
10.             Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk:
·        Modal sumberdaya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan, dan kesehatan yang memadai.
·        Modal produksi, misalnya lahan, dan akses terhadap kredit.
·        Modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik.
·        Sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar seperti jalan, air bersih, listrik; termasuk hidup di daerah yang terpencil.
11.             Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena:
1.                 Krisis ekonomi.
2.                 Kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan.
3.                 Kehilangan pekerjaan (PHK).
4.                 Konflik sosial dan politik.
5.                 Korban kekerasan sosial dan rumah tangga.
6.                 Bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global).
7.                 Musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit).
12.             Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena:
1.                 Tidak ada kepastian hukum.
2.                 Tidak ada perlindungan dari kejahatan.
3.                 Kesewenang-wenangan aparat.
4.                 Ancaman dan intimidasi.
5.                 Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.
6.                 Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin.


Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang terdapat di negara-negara berkembang, seperti Indonesia karena penduduk miskin lebih banyak daripada penduduk kaya. Hal ini merupakan ketimpangan yang sangat kompleks. Mengapa? Karena dengan negara yang memiliki ribuan pulau dengan beragam etnis,suku,agama,bahasa, dan ras dengan berjuta jiwa masyarakatnya akan sangat sulit melakukan pemerataan pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan. Hal ini dirasakan di wilayah Timur , Indonesia, khususnya Papua.

Dari data BPS, kabupaten Mimika dan kota Jayapura merupakan dua kabupaten/kota yang paling baik secara ekonomi. Ini terjadi karena tingkat pendidikan, infrastruktur kesehatan dan kesejahteraan masyarakat kedua kabupaten/kota ini tertinggi. Diperkirakan, penduduk kota Jayapura rata-rata dapat mencapai umur 69 tahun. Bandingkan dengan Kabupaten Nduga, angka harapan hidup di Nduga hanya 53 tahun.
Masyarakat Kota Jayapura rata-rata per tahun mengeluarkan uang sekitar Rp 14 juta, sedangkan di Nduga hanya Rp 3,6 juta per orang per tahun. Sangat minimnya infrastruktur yang terkait pendidikan, infrastruktur yang terkait kesehatan dan infrastruktur yang terkait kesejahteraan di kabupaten Nduga.
Intervensi pemerintah melalui program seperti program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat dan Program Indonesia Sejahtera telah ada. Tiga kartu yang dibagikan kepada masyarakat miskin ini diharapkan dapat menstimulasi masyarakat Papua untuk keluar dari garis kemiskinannya.
Gubernur Papua, Lukas Enembe mengatakan, jumlah penduduk miskin di Papua sulit turun karena banyak orang yang datang dari luar Papua. Mereka datang ke Papua dengan mudah mendapatkan kartu tanda penduduk dari pemerintah setempat. Ada KTP yang dikeluarkan tapi orangnya belum tinggal di Papua. Dan berikut ini pembahasannya..


1. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Papua

Analisis :
Berdasarkan data statistik di atas, diketahui bahwa Persentase penduduk miskin di Papua selama enam bulan terakhir mengalami penurunan sebesar 0,31 persen poin yaitu dari 27,74 persen pada Maret 2018 menjadi 27,43 persen pada September 2018.
Selama sembilan belas tahun terakhir (1999-2018) kondisi kesejahteraan masyarakat Papua kian membaik. Tercatat persentase penduduk miskin pada periode tersebut menurun secara signifikan sebesar 27,32 persen poin, yaitu dari 54,75 persen pada Maret 1999 menjadi 27,43 pada September 2018.
Pada lima tahun pertama Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjalan (2001-2005) persentase penduduk miskin menurun sebesar 0,97 persen, yaitu dari 41,80 persen menjadi 40,83 persen. Sedangkan pada lima tahun kedua pelaksanaan Otsus (2006-2010) persentase penduduk miskin menurun sebesar 4,72 persen. Penurunan persentase penduduk miskin terbesar terjadi pada periode Maret 2010 - Maret 2011 di mana terdapat 4,82 persen penduduk yang pada tahun 2010 penghasilannya di bawah garis kemiskinan kini bergeser di atas garis kemiskinan sehingga menjadi tidak miskin.
          Dari data Bappenas, angka kemiskinan di Provinsi Papua Maret 2018 mencapai 27,7 persen atau naik dari periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 27,6 persen. Bambang mengatakan permasalahan kemiskinan provinsi tersebut tidak hanya dapat diselesaikan dengan kebijakan pemerintah pusat. Salah satu kejadiannya adalah yang sempat terjadi di Asmat, di mana upaya pemda mengurangi kemiskinan minim. Caranya adalah dengan melakukan penguatan penguatan tiga hal yakni pendidikan, kesehatan, dan pendidikan, akan menjadi prioritas pemerintah pusat di Papua. Salah satu di antaranya adalah membuat Sekolah Menentah Atas (SMA) tinggal di asrama agar murid dapat mengakses pendidikan dengan mudah.

Dari data diatas, persentase penduduk miskin sudah mulai berkurang yang sebelumnya sempat naik, hal ini karena pemerintah provinsi Papua bekerjasama dengan segala instansi pemerintah, baik Presiden Joko Widodo dan segala menterinya mengupayakan untuk melakukan kesejahteraan yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kota saja, tetapi masyarakat desa pun bisa merasakan dampaknya.

2.    Perubahan Garis Kemiskinan


Analisis :
Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Seiring dengan kenaikan harga (inflasi) yang terjadi dari tahun ke tahun, besarnya GK juga mengalami peningkatan.

Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan September 2018, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 75 persen (Rp.388,844,-/kapita/bulan), dan GKBM hanya menyumbang 25 persen (Rp.129,968,-/kapita/bulan) dari total GK Provinsi Papua. Hal ini membuktikan bahwa terjadinya kesenjangan atau ketimpangan yang sangat besar antara makanan dan non makanan, sehingga diperlukannya pendistribusian secara merata agar masyarakat bisa merasakannya.


3.   Mengukur Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan

Analisis :
               Jika dilihat pada periode Maret 2018 – September 2018, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan Provinsi Papua mengalami penurunan. Tercatat P1 turun 0,82 poin, sementara itu P2 turun sebesar 0,46 poin. Kondisi ini menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk miskin di Provinsi Papua dalam periode Maret 2018- September 2018 semakin mendekati dari garis kemiskinan.
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan. Pada bulan September 2018, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 0,76 sementara di daerah perdesaan mencapai 7,94. Demikian juga untuk nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di mana nilai Indeks untuk perkotaan hanya 0,23 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,45. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan jauh lebih parah daripada daerah perkotaan karena dari semua segi (jumlah, persentase, kedalaman maupun keparahan kemiskinan) daerah perdesaan jauh lebih memprihatinkan dibanding daerah perkotaan). Hal itu menyebabkan daerah desa kekurangan segala sesuatu, karena dipusatkan pembangunannya untuk wilayah kota.
Tetapi perlahan-lahan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan tersebut sudah bisa dikurangi dengan diliat dari data di atas, indeks yang ditunjukkan mengalami penurunan yang berarti menuju perekonomian yang lebih baik.

Secara umum, Metode mengukur kemiskinan dan Sumber data yang digunakan
1.       Cakupan
          Susenas Maret mencakup 300.000 rumah tangga sementara Susenas September mencakup 75.000 rumah tangga. Level estimasi Susenas Maret sampai dengan kabupaten/kota sedangkan level estimasi Susenas September sampai dengan provinsi. Sampel dipilih secara acak dan tersebar di 34 provinsi dan 511 kabupaten/kota di Indonesia.

2.       Kerangka Sampel
          Kerangka sampel induk kegiatan Susenas adalah sekitar 180.000 blok sensus (25% populasi) yang ditarik secara PPS dengan size rumah tangga SP2010 dari master frame blok sensus. 

3.       Metode Pengumpulan Data
  • Dilakukan wawancara terhadap rumah tangga yang terpilih sebagai sampel dengan menggunakan kuesioner Konsumsi dan Pengeluaran (VSEN16.KP).  
  • Periode referensi untuk konsumsi makanan adalah seminggu sebelum pencacahan. Sementara itu, periode referensi untuk konsumsi non-makanan adalah sebulan yang lalu, setahun yang lalu maupun keduanya. 
4.       Pengolahan Data
          Pengolahan dokumen Susenas terdiri atas kegiatan receiving-batching, editing-coding, entry, kompilasi data, dan tabulasi. Kegiatan receiving-batching, editing-coding, dan entry dilakukan sepenuhnya di BPS Kabupaten/Kota. Selanjutnya, kegiatan kompilasi data dan tabulasi dilakukan di BPS provinsi dan pusat.
  
Selain itu, terdapat cara yang secara khusus, yaitu BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
   Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan, Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.  Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan September 2018 adalah data Susenas bulan September 2018.

            Dengan demikian, dari data yang sudah dilampirkan diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja pemerintah dalam mengupayakan untuk mengurangi kemiskinan khususnya di Papua sudah baik, akan tetapi perlu ditingkatkan lagi kinerjanya untuk meminimumkan persentase kemiskinan di Papua, sehingga tercapainya tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan Pembukaan UUD 1945.

Referensi :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar