Hallo teman-teman, pada tulisan kali ini, saya akan membahas
tentang Perkembangan Kemiskinan yang terjadi di masyarakat Papua, Perubahan
Garis Kemiskinan yang terjadi dan Mengukur Indeks Kedalaman dan Keparahan
Kemiskinan.
Sebelum kita membahas mengenai data statistik kemiskinan yang terjadi di
Papua, kita harus mengerti terlebih dahulu definisi, klasifikasi, dan faktor
penyebab terjadinya kemiskinan.
Pengertian
Kemiskinan adalah
suatu kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan yang layak.
KLASIFIKASI KEMISKINAN :
Menurut Max-Neef
et. al, sekurangnya ada 6 (enam) macam kemiskinan yang ditanggung komunitas,
yaitu :
1.
Kemiskinan subsistensi, penghasilan rendah, jam kerja
panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.
2.
Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi,
sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas
hak pemilikan tanah.
3.
Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal
buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran
atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
4.
Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol
atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
5.
Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antar
kelompok sosial, terfragmentasi.
6.
Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak
aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
PENYEBAB KEMISKINAN
Beberapa faktor
penyebab yang sangat mendasar terhadap terjadinya kemiskinan antara lain adalah
:
1.
Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal.
2.
Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana
dan prasarana.
3.
Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias
sektor.
4.
Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota
masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
5.
Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan
antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
6.
Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal
dalam masyarakat.
7.
Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang
mengelola sumber daya alam dan lingkungannya.
8.
Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good
governance).
9.
Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak
berwawasan lingkungan (over exploited).
10.
Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk
memenuhi kebutuhan dasar, termasuk:
·
Modal sumberdaya manusia, misalnya pendidikan formal,
keterampilan, dan kesehatan yang memadai.
·
Modal produksi,
misalnya lahan, dan akses terhadap kredit.
·
Modal sosial,
misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik.
·
Sarana fisik,
misalnya akses terhadap prasarana dasar seperti jalan, air bersih, listrik;
termasuk hidup di daerah yang terpencil.
11.
Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi
goncangan-goncangan karena:
1.
Krisis ekonomi.
2.
Kegagalan panen
karena hama, banjir atau kekeringan.
3.
Kehilangan pekerjaan (PHK).
4.
Konflik sosial dan politik.
5.
Korban kekerasan sosial dan rumah tangga.
6.
Bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim
global).
7.
Musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak
terserang wabah penyakit).
12.
Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam
ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena:
1.
Tidak ada kepastian hukum.
2.
Tidak ada perlindungan dari kejahatan.
3.
Kesewenang-wenangan aparat.
4.
Ancaman dan intimidasi.
5.
Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung
upaya penanggulangan kemiskinan.
6.
Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin.
Dari data BPS, kabupaten
Mimika dan kota Jayapura merupakan dua kabupaten/kota yang paling baik secara
ekonomi. Ini terjadi karena tingkat pendidikan, infrastruktur kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat kedua kabupaten/kota ini tertinggi. Diperkirakan,
penduduk kota Jayapura rata-rata dapat mencapai umur 69 tahun. Bandingkan
dengan Kabupaten Nduga, angka harapan hidup di Nduga hanya 53 tahun.
Masyarakat Kota Jayapura
rata-rata per tahun mengeluarkan uang sekitar Rp 14 juta, sedangkan di Nduga
hanya Rp 3,6 juta per orang per tahun. Sangat minimnya infrastruktur yang
terkait pendidikan, infrastruktur yang terkait kesehatan dan infrastruktur yang
terkait kesejahteraan di kabupaten Nduga.
Intervensi pemerintah melalui
program seperti program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat dan Program Indonesia
Sejahtera telah ada. Tiga kartu yang dibagikan kepada masyarakat miskin ini
diharapkan dapat menstimulasi masyarakat Papua untuk keluar dari garis
kemiskinannya.
Gubernur Papua, Lukas Enembe
mengatakan, jumlah penduduk miskin di Papua sulit turun karena banyak orang
yang datang dari luar Papua. Mereka datang ke Papua dengan mudah mendapatkan
kartu tanda penduduk dari pemerintah setempat. Ada KTP yang dikeluarkan tapi
orangnya belum tinggal di Papua. Dan berikut ini
pembahasannya..
1. Perkembangan Persentase Penduduk
Miskin di Papua
Analisis :
Berdasarkan data statistik di atas, diketahui bahwa Persentase
penduduk miskin di Papua selama enam bulan terakhir mengalami penurunan sebesar
0,31 persen poin yaitu dari 27,74 persen pada Maret 2018 menjadi 27,43 persen
pada September 2018.
Selama sembilan belas tahun terakhir (1999-2018) kondisi
kesejahteraan masyarakat Papua kian membaik. Tercatat persentase penduduk
miskin pada periode tersebut menurun secara signifikan sebesar 27,32 persen
poin, yaitu dari 54,75 persen pada Maret 1999 menjadi 27,43 pada September
2018.
Pada lima tahun pertama Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjalan
(2001-2005) persentase penduduk miskin menurun sebesar 0,97 persen, yaitu dari
41,80 persen menjadi 40,83 persen. Sedangkan pada lima tahun kedua pelaksanaan
Otsus (2006-2010) persentase penduduk miskin menurun sebesar 4,72 persen.
Penurunan persentase penduduk miskin terbesar terjadi pada periode Maret 2010 -
Maret 2011 di mana terdapat 4,82 persen penduduk yang pada tahun 2010
penghasilannya di bawah garis kemiskinan kini bergeser di atas garis kemiskinan
sehingga menjadi tidak miskin.
Dari data Bappenas, angka kemiskinan di Provinsi Papua Maret 2018
mencapai 27,7 persen atau naik dari periode yang sama tahun lalu yakni sebesar
27,6 persen. Bambang mengatakan permasalahan kemiskinan provinsi tersebut tidak
hanya dapat diselesaikan dengan kebijakan pemerintah pusat. Salah satu
kejadiannya adalah yang sempat terjadi di Asmat, di mana upaya pemda mengurangi
kemiskinan minim. Caranya adalah dengan melakukan penguatan penguatan tiga hal
yakni pendidikan, kesehatan, dan pendidikan, akan menjadi prioritas pemerintah
pusat di Papua. Salah satu di antaranya adalah membuat Sekolah Menentah Atas
(SMA) tinggal di asrama agar murid dapat mengakses pendidikan dengan mudah.
Dari data diatas, persentase penduduk miskin sudah mulai berkurang yang sebelumnya sempat naik, hal ini karena pemerintah provinsi Papua bekerjasama dengan segala instansi pemerintah, baik Presiden Joko Widodo dan segala menterinya mengupayakan untuk melakukan kesejahteraan yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kota saja, tetapi masyarakat desa pun bisa merasakan dampaknya.
Dari data diatas, persentase penduduk miskin sudah mulai berkurang yang sebelumnya sempat naik, hal ini karena pemerintah provinsi Papua bekerjasama dengan segala instansi pemerintah, baik Presiden Joko Widodo dan segala menterinya mengupayakan untuk melakukan kesejahteraan yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kota saja, tetapi masyarakat desa pun bisa merasakan dampaknya.
2. Perubahan Garis Kemiskinan
Analisis :
Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk
mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan. Seiring dengan kenaikan harga (inflasi) yang terjadi
dari tahun ke tahun, besarnya GK juga mengalami peningkatan.
Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri
dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM),
terlihat bahwa peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan
peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Pada bulan September 2018, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 75 persen
(Rp.388,844,-/kapita/bulan), dan GKBM hanya menyumbang 25 persen
(Rp.129,968,-/kapita/bulan) dari total GK Provinsi Papua. Hal ini membuktikan bahwa
terjadinya kesenjangan atau ketimpangan yang sangat besar antara makanan dan
non makanan, sehingga diperlukannya pendistribusian secara merata agar
masyarakat bisa merasakannya.
3. Mengukur Indeks Kedalaman Kemiskinan dan
Indeks Keparahan Kemiskinan
Analisis :
Jika
dilihat pada periode Maret 2018 – September 2018, indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan Provinsi Papua mengalami penurunan. Tercatat P1 turun 0,82
poin, sementara itu P2 turun sebesar 0,46 poin. Kondisi ini menunjukkan
rata-rata pengeluaran penduduk miskin di Provinsi Papua dalam periode Maret
2018- September 2018 semakin mendekati dari garis kemiskinan.
Nilai
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah
perdesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan. Pada bulan September 2018,
nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 0,76 sementara di
daerah perdesaan mencapai 7,94. Demikian juga untuk nilai Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) di mana nilai Indeks untuk perkotaan hanya 0,23 sementara di
daerah perdesaan mencapai 2,45. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa
tingkat kemiskinan di daerah perdesaan jauh lebih parah daripada daerah
perkotaan karena dari semua segi (jumlah, persentase, kedalaman maupun
keparahan kemiskinan) daerah perdesaan jauh lebih memprihatinkan dibanding
daerah perkotaan). Hal itu menyebabkan daerah desa kekurangan segala sesuatu,
karena dipusatkan pembangunannya untuk wilayah kota.
Tetapi
perlahan-lahan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan tersebut sudah bisa
dikurangi dengan diliat dari data di atas, indeks yang ditunjukkan mengalami
penurunan yang berarti menuju perekonomian yang lebih baik.
Secara
umum, Metode mengukur kemiskinan dan Sumber data yang digunakan
1. Cakupan
Susenas Maret
mencakup 300.000 rumah tangga sementara Susenas September mencakup 75.000 rumah
tangga. Level estimasi Susenas Maret sampai dengan kabupaten/kota sedangkan
level estimasi Susenas September sampai dengan provinsi. Sampel dipilih secara
acak dan tersebar di 34 provinsi dan 511 kabupaten/kota di Indonesia.
2. Kerangka
Sampel
Kerangka sampel
induk kegiatan Susenas adalah sekitar 180.000 blok sensus (25% populasi) yang
ditarik secara PPS dengan size rumah tangga SP2010 dari master frame blok
sensus.
3. Metode
Pengumpulan Data
- Dilakukan
wawancara terhadap rumah tangga yang terpilih sebagai sampel dengan
menggunakan kuesioner Konsumsi dan Pengeluaran (VSEN16.KP).
- Periode
referensi untuk konsumsi makanan adalah seminggu sebelum pencacahan.
Sementara itu, periode referensi untuk konsumsi non-makanan adalah sebulan
yang lalu, setahun yang lalu maupun keduanya.
4. Pengolahan
Data
Pengolahan
dokumen Susenas terdiri atas kegiatan receiving-batching, editing-coding,
entry, kompilasi data, dan tabulasi. Kegiatan receiving-batching, editing-coding,
dan entry dilakukan sepenuhnya di BPS Kabupaten/Kota. Selanjutnya, kegiatan
kompilasi data dan tabulasi dilakukan di BPS provinsi dan pusat.
Selain
itu, terdapat cara yang secara khusus, yaitu BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase
penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung
Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan Garis
Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan,
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Sumber
data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan September 2018
adalah data Susenas bulan September 2018.
Dengan demikian, dari data yang sudah
dilampirkan diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja pemerintah dalam
mengupayakan untuk mengurangi kemiskinan khususnya di Papua sudah baik, akan
tetapi perlu ditingkatkan lagi kinerjanya untuk meminimumkan persentase
kemiskinan di Papua, sehingga tercapainya tujuan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan Pembukaan UUD 1945.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar